Ahlan Wa Sahlan



Senin, 30 Mei 2011

Selalu Ada Rencana Indah Untukmu

Sang Kuasa selalu punya rencana indah untuk kita umatNya
Sesekali langsung membahagiakan hati…
Terkadang sejenak bertentangan dengan harap
Kau hanya perlu mensyukuri dan merenungi

Usah kau terus mempertanyakan, buang semua logika
Berdoalah senantiasa… dan syukuri baik buruk yang kau rasa
Saat kau berniat baik dan meminta yang terbaik, itulah yang kan Dia beri
Terkadang seketika… seringkali harus lalui hari yang menguji hati

Selalu ada rencana indah untukmu
Walau seringkali kau melupakanNya
Selalu ada rencana indah bagimu
Jika kau terus meminta padaNya

Tak Pernah Berlalu

Mungkin aku memang lemah
Mungkin aku tak pernah punyai lelah
Saat ku terdiam menangisi pergimu
Terus ku terpaku oleh harapan semu

Sepertinya… t’lah cukup banyak kutulis
T’lah cukup dalam hati ini kuiris
Agar bisa kucoba lagi cinta dari mula
Dengan ia yang mampu merasakannya

Namun cinta untukmu terus bertahan
Di sekeping sisa hati ini pun cinta untukmu kurasakan
Kerinduan hadirmu tak pernah bisa hilang
Oh Tuhan… bagaimana semua ini harus kuartikan ?

Sabtu, 28 Mei 2011

Ketika Derita Mengabadikan Cinta

Kini tibalah saatnya kita semua mendengar nasihat pernikahan untuk kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat prof.Dr.Mamduh Hassan Al Gonzouri. Beliau adalah ketua Ikatan Doktor Cairo dan direktor Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar saraf terkemuka di Timur Tengah, yang tidak lain adalah juga pensyarah bagi kedua mempelai. Kepada Professor Mamduh dipersilakan”.

Suara pengerusi majlis walimatul urs’ itu bergema di seluruh ruangan majlis pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi Sungai Nil, Cairo. Seluruh hadirin menanti dengan penuh penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar saraf kelulusan London itu. Hati mereka menanti-nanti, mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesihatan saraf dari professor yang murah dengan senyuman dan sering muncul di televisyen itu. Sejurus kemudian, seorang lelaki separuh baya berambut putih melangkah menuju pentas. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan kewibawaan. Kepalanya yang sedikit botak meyakinkan bahawa ia memang ilmuwan berjaya. Sorot matanya tajam dan kuat, mengisyaratkan peribadi yang tegas. Sebaik sampai di pentas, kamera video dan lampu sorot terus menyunting ke arahnya. Sesaat sebelum berbicara, seperti biasa, ia sentuh bingkai kacamatanya, lalu…


Bismillah. Alhamdulillah. Wash shalatu was salamu’ala Rasulillah. Amma ba’du. Sebelumnya saya mohon maaf, saya tidak boleh memberikan nasihat lazimnya para lama, para mubaligh, atau para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita.

Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan khayalan belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tidak ternilai harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai berdua dan seluruh hadirin yang dimuliakan Allah boleh mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambillah mutiaranya dan buanglah lumpurnya. Saya berharap kisah nyata saya ini dapat melunakkan hati-hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dan kedamaian, serta menghadirkan kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.

Hadirin yang terhormat,

Tiga puluh lima tahun yang lalu. Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira berpangkat tinggi, keturunan “Pasha” yang sangat terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga bangsawan terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, pakar ekonomi lulusan Sorbonne yang memegang jawatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik negeri ini. Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam suasana kebangsawanan dengan aturan hidup tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma kebangsawanan. Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan bangsawan atau kalangan high class sepadan!

Entah mengapa, saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya merasa terkongkong dan terbelenggu oleh golongan sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan hidup sebenar yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justeru saat bergaul dengan teman-teman dan kalangan bawahan yang menghadapi kehidupan dengan penuh tentangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat keluarga saya gusar, mereka menganggap saya ceroboh dan tidak boleh menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang-orang yang selalu basah keringat dalam mencari pengalas perut dianggap memalukan keluarga. Namun saya tidak ambil peduli.

Kerana ayah memperoleh warisan yang sangat besar dari datuk, dan ibu mampu mengembangkannya berlipat kali ganda, maka kami hidup mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa bercuti ke luar negeri, ke Paris, Rom, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika bercuti di dalam negeri, ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di dalam Montaza yang berdekatan dengan istana Raja Faruq.

Sebaik masuk fakultas kedoktoran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil biasa saja, agar lebih senang bergaul dengan teman-teman dan para pensyarah. Tapi beliau menolak mentah-mentah. “Justeru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja”.Tegas ayah. Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah pendapat materialistik ayah. Dan agar lebih selesa di hati, saya meletakkan mobil itu jauh dari tempat kuliah.

Di kuliah saya jatuh cinta pada teman sekuliah. Seorang gadis yang penuh pesona zahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan kemuliaan akhlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menakjubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya. Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga menyintai saya. Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diredhai Allah, iaitu ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakulti. Maka datanglah saatnya untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus. Saya buka keinginan untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu dan saudara mara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus. Selepas kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Sebaik saja saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan terus membanting gelas yang ada berdekatannya. Bahkan beliau mengancam: “Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!” Beliau menegaskan bahawa selama beliau masih hidup rancangan pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak terkira.

Hadirin semua, adakah Anda tahu apa sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku sedemikian kejam? Sebabnya, kerana ayah calon isteri saya itu adalah tukang cukur…..tukang cukur, ya sekali lagi…tukang cukur! Saya katakan dengan bangga. Kerana meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati. Seorang pekerja keras yang

telah menunaikan kewajipannya pada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak dilakukan para bangsawan “Pasha”. Melalui tangannya ia lahirkan tiga orang doktor, seorang jurutera dan seorang leftenan, meskipun dia sama sekali tidak pernah mengecap bangku pendidikan. Ibu, saudara dan seluruh keluarga berpihak pada ayah. Saya sendiri berdiri, tiada yang membela. Pada saat yang sama adik lelaki saya membawa pasangannya yang telah hamil dua bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah, ibu terus merestui dan menyiapkan biaya majlis pernikahannya sebanyak lima ratus ribu pound. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak direstui sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina , bertukar ganti pasangan dan akhirnya menghamilkan pasangannya yang entah keberapa di luar aqad nikah, malah direstui dan diberi biaya maha besar?

Dengan senang ayah menjawab: “Kerana kamu memilih pasangan hidup dari golongan yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan teman wanita adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga besar Al Gonzouri”.

Hadirin semua, semakin perit luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah saya tentu sudah tentu saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat mahu datang, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang jelas berzina justeru terus dibiayai. Dan dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahawa cara dan pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini kebenarannya. Itu saja. Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rancangan saya. Namun la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliau pun menolak mentah-mentah untuk mengahwinkan puterinya dengan saya. Bahkan juga bersumpah tidak akan merestui hal itu selamanya, demi kehormatan keluarganya. Dia tidak rela keluarganya menjadi bahan ejekan dan hinaan kalangan “Pasha”. Namun puterinya berkeras ingin menikah dengan saya dan tidak akan menikah kecuali dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad bernikah dengan saya.

Kami berdua bingung, jiwa kami terseksa. Keluarga saya menolak pernikahan ini terjadi kerana alasan status sosial, sedangkan keluarga dia menolak kerana alasan membela kehormatan. Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya kenapa orang–orang itu tidak memiliki kesejukan cinta? Setelah berfikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke pejabat ma’adzun syari (petugas pencatat nikah) disertai tiga orang sahabat karibku. Kami berikan identiti kami dan kami minta ma’adzun untuk melaksanakan akad nikah kami secara syar’i mengikut madzhab Imam Hanafi. Ketika ma’adzun menutun saya: “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima nikah kamu sesuai dengan sunnatullah wa rasulihi dan dengan mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai madzhab Imam Abu Hanifah Radiyallahu ‘anhu”. Seketika itu bercucuranlah air mata saya, airmata dia dan airmata ketiga sahabat saya yang tahu secara detail perjalanan menuju aqad nikah itu. Kami keluar dari pejabat itu dengan rasmi sebagai suami-isteri yang sah di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala dan manusia. Kami punya bukti sah sebagai suami isteri yang diakui negara dan diakui syariat. Kami telah bertekad siap mengahadapi kemungkinan hidup ini murni dengan kekuatan kami, tanpa sandaran dan dukungan siapa pun kecuali pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya bisikkan dalam telinga isteri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.

Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, aqad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Sebaik saja mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayahku dari rumah. Kereta dan segala kemudahan yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali beg lusuh berisi beberapa pasang pakaian dan duit sebanyak tujuh pound saja, hanya empat pound! Itulah sisa duit yang saya miliki selesai membayar duit aqad nikah di pejabat ma’adzun. Begitu pula dengan isteriku, ia turut diusir oleh keluarganya. Lebih tragis ia hanya membawa beg kecil berisi pakaian dan wang sebanyak dua pound, tidak lebih. Total, kami hanya pegang enam pound atau dua dolar. Ah, apa yang boleh kami lakukan dengan enam pound. Kami berdua bertemu di jalanan umpama gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil. Rasa cemas, takut, sedih, dan sengsara bercampur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dakapan kasih sayang, rasa berdaya dan hidup menjalari sukma kami.

“Habibi, maafkan Kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini Maafkan kanda!.

“Tidak Kanda tidak salah, langkah yang Kanda tempuh benar. Kita telah berfikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak boleh menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berfikir anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahawa kita benar dan tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini, percayalah, insya Allah, saya akan sentiasa mendampingi Kanda, selama Kanda setia membawa dinda di jalan yang lurus. Kita akan buktikan pada mereka bahawa kita boleh hidup dan berjaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu, kita hulurkan tangan kita dan kita berikan senyuman kita pada mereka dan mereka akan menangis haru. Airmata mereka akan mengalir deras seperti derasnya airmata derita kita saat ini.” Jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan. Kata-katanya memberikan pengaruh yang luar biasa dalam diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi teringat bahawa satu bulan lagi kami akan dilantik menjadi doktor. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan dan wang sebanyak 40 pound.

Malam semakin larut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di kaki lima kedai berdua sebagai orang melarat yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di kaki lima kedai itu. Jalan keluar itu pun datang jua. Dengan sisa wang pound itu kami boleh meminjam telefon di sebuah kedai dua puluh empat jam. Saya Berjaya menghubungi seorang teman yang boleh memberi pinjaman sebanyak 50 pound. Ia bahkan menghantarkan kami dengan keretanya mencarikan lokandat (rumah penginapan) ala kadarnya yang murah.



Saat kami berteduh dalam bilik sederhana, segeralah kami disedarkan kembali bahawa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengharunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kami hidup dalam lokandat itu beberapa hari, sampai teman kami berjaya menemukan rumah sewa sederhana di daerah kumuh Syubra Kaimah.

Bagi kaum bangsawan, rumah sewa kami mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari rumah sewa kami. Namun bagi kami, ini adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu,jika seorang gelandang tanpa rumah menemukan tempat berteduh, ia bagaikan mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang tuan punya rumah sedang memerlukan wang, sehingga dia menerima aqad sewa tanpa wang jaminan dan wang perkhidmatan lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk tiga bulan. Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah ke sana. Lalu kami membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tidak lebih dari sebuah tilam kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kerusi dan satu dapur gas sederhana sekali, kipas, dan dua cangkir dari tanah, itu saja tak lebih.

Dalam hidup yang bersahaja dan belum boleh dikatakan layak itu, kami tetap merasa bahagia, kerana kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan ghairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan syurga di akhirat. Kerana di syurga Allah menjanjikan cinta. Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnul Qayyim, bahawa ni’matnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setitis rasa ni’mat yang disediakan Allah di syurga. Jika percintaan suami isteri itu ni’mat, maka syurga jauh lebih ni’mat dari itu semua. Ni’mat cinta di syurga tidak boleh dibayangkan. Yang paling ni’mat adalah cinta yang diberikan Allah kepada penghuni syurga, saat Allah memperlihatkan wajahNya. Dan tidak semua penghuni syurga berhak meni’mati indahnya wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk mencapai ni’mat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya iaitu Al-Quran dan Sunnah. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allahlah yang berhak memperoleh segala cinta di syurga.

Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan diri kepadaNya. Isteri saya jadi rajin membaca Al-Quran, lalu memakai tudung, dan tiada putus solat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi puteri raja yang cantik mengghairahkan. Di akhir malam ia menjelma menjadi Rabiah Adawiyah yang larut dalam samudera munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang dia adalah doktor yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang berkarakter dan berperibadian kuat, ia bertekad untuk menempuh hidup berdua tanpa bantuan siapa pun, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia juga seorang wanita yang pandai mengurus wang . Wang sebanyak 55 pound yang tersisa setelah membayar rumah cukup untuk makan dan pengangkutan selama satu bulan. Tetangga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kami juga mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah doktor. Sampai-sampai ada yang kata tanpa disengaja: “Ah, kami ingat para doktor itu pasti semuanya kaya, ternyata ada juga ya yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya.”

Akrabnya persahabatan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya seperti saudara sendiri. Ada yang menawari isteri agar menumpangkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka. Kerana kami memang doktor yang sibuk. Ada yang membelikan keperluan dapur. Ada yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan-pertolongan itu. Kehangatan tetangga itu seolah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami.

Yang lebih menyakitkan, mereka tidak membiarkan kami hidup tenang. Suatu malam ketika kami sedang tidur nyenyak,tiba-tiba rumah kami diketuk dengan kasar dan ditendang oleh empat penjahat kiriman ayah saya. Mereka merosakkan segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya mereka patah-patahkan, begitu juga kerusi. Katil tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam dan memaki dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman: “Kalian tidak akan hidup tenang, kerana berani menentang Tuan Pasha!” Yang mereka maksudkan dengan “tuan pasha” adalah ayah saya yang saat itu pangkatnya naik menjadi jeneral.

Keempat-empat banjingan itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bersama-sama berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami atur kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan juga kapas-kapas yang berserakan, kami masukkan dalam tilam dan kami jahit tilam yang koyak-rabak tidak karuan itu. Kami susun semula buku-buku yang bersepah. Meja dan kerusi yang pecah itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tidur kepenatan dengan tangan erat bergenggaman, seolaholah eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan tekanan hidup ini. Benar, firasat saya mengatakan ayah tak akan membiarkan kami hidup tenang. Saya mendapat berita dari seorang teman bahawa ayah telah merancang scenario keji untuk memenjarakan isteri saya berdua dengan tuduhan wanita pelacur. Semua orang juga tahu kuatnya pegawai perisik ketenteraan di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di bawah telapak kaki mereka. Saya hanya boleh pasrah segalanya kepada Allah mendengar hal itu.

Dan masya Allah! Ayah memang merancang rancangan itu dan tidak mengurangkan niat jahatnya itu kecuali setelah seoarang teman karibku berjaya memperdaya beliau dengan bersumpah akan berjaya memujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu, sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan akan berbuat lebih nekad. Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap minggu sambil meminta beliau bersabar, sampai berjaya meyakinkan saya untuk menceraikan isteriku. Inilah rancangan temanku itu untuk terus menghulur waktu, sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya dapat mempersiapkan segala sesuatu lebih matang. Beberapa bulan setelah itu datanglah saatnya masa wajib militer (tentera).

Selama satu tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang sangat saya takutkan, tidak ada kemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris selama satu tahun saya tidak dapat tidur kerana memikirkan keselamatan isteri tercinta. Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan hamba-hambaNya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia mendapat kesempatan bekerja sementara di sebuah klinik kesihatan dekat rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah. Selesai wajib militer, saya terus menumpahkan segenap rasa rindu pada kekasih hati. Saat itu adalah musim bunga. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestin yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia dan lepas dari belenggu derita.

Sambil menatap ke kaki langit

Kukatakan padanya

Di sana, di atas lautan pasir kita akan berbaring

Dan tidur nyenyak sampai Subuh tiba

Bukan kerana ketiadaan kata-kata

Tetapi kerana kupu-kupa kelelahan

Akan tidur di atas bibir kita

Besok, oh cintaku, besok

Kita akan bangun pagi sekali

Dengan para pelaut dan perahu layar mereka

Dan kita akan terbang bersama angin

Seperti burung-burung

***

Yah, saya pun memimpikan yang demikian. Ingin rasanya istirehat dari nestapa dan derita. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah berkeras untuk masuk program Magister bersama. Gila! Idea gila! Fikirku saat itu. Bagaimana tidak. Ini adalah saat yang paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai doktor di Negara teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tak berperasaan. Tetapi isteri saya malah terfikir untuk meraih Magister. Saya pujuk dia untuk menghentikan niatnya. Tapi dia tetap berkeras untuk meraih Magister dan menjawab dengan logik yang tak kuasa saya tolak: “Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan dan mendapat tawaran dari fakulti sehingga akan memperolehi keringanan dalam pembiayaan, kita harus bersabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita reguk sumsum penderitaan ini, kita sempurnakan prestasi akademik kita, dan kita wujudkan mimpi indah kita.”

Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad membaja isteriku,hatiku pun luruh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya. Jadilah kami berdua masuk program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih menderita. Kemasukan hanya cukup-cukup untuk hidup, sementara keperluan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktikal, buku dan lain-lain. Nyaris kami hidup seperti kaum sufi. Makan hanya dengan roti isy dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam-malam kami lalui bersama dengan perut lapar, teman setia kami adalah air paip. Ya, air paip. Masih terakam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama pada suatu malam sampai didera rasa lapar tak terkira, kami ubati dengan air. Yang terjadi, kami malah muntahmuntah.

Terpaksa wang untuk beli buku kami ambil untuk beli pengisi perut. Siang hari, jangan tanya, kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.

Meski sedemikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikit pun. Tidak pernah saya melihat isteri saya mengeluh, menangis, sedih atau pun marah kerana suatu sebab. Kalaupun dia menangis itu bukan menyesali nasibnya, tetapi dia lebih merasa kasihan pada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah dengan selera high class,tiba-tiba harus hidup sengsara seperti pengemis. Dan sebaliknya saya juga merasa kasihan melihat keadaan dia, dia yang asalnya hidup selesa dan makmur dengan keluarganya harus hidup menderita di rumah sewa yang buruk dan makan ala kadarnya. Timbal balik perasaan ini ternyata menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak mampu lagi melukiskan rasa sayang, penghormatan dan cinta yang mendalam padanya.

Setiap kali saya mengangkat kepala dari buku, yang nampak di depan saya adalah wajah isteri yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya itu. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat pandangannya dari buku, dan menatap saya penuh cinta dan senyumannya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan ini terlupakan semua. Rasanya kamilah orang paling berbahagia di dunia. “Allah menyertai orang-orang yang sabar, Sayang!” bisiknya mesra sambil tersenyum. Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.

Allah Maha Penyayang. Usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelaran Master dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya dua tahun saja. Namun kami belum keluar dari derita. Setelah meraih Master pun kami masih mengecap hidup susah, tidur di atas tilam nipis dan tidak ada istilah makan enak dalam hidup kami. Sampai akhirnya, rahmat Allah datang jua. Setelah usaha keras, kami berjaya menandatangani kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah. Kami rasakan kembali tidur di atas tilam empuk. Kami kenal kembali makanan lazat setelah kami tinggal sekian tahun. Dua tahun setelah itu kami pun dapat membeli villa bertingkat dua di Heliopolis, Cairo. Sebenarnya saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang sesuai. Tetapi isteriku memang “gila”. Ia kembali mengeluarkan idea gila, iaitu idea untuk melanjutkan program doktor spesialis di London, juga dengan alasan logik yang susah saya tolak:

“Kita doktor yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui dan kita kini memiliki wang yang cukup untuk mengambil doktor di London. Setelah bertahun-tahun kita hidup di lorong buruk dan kotor, tak ada salahnya kita raih sekalian tahap akademik tertinggi sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan.”

Ku cium kening isteriku, bismillah kita ke London. Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berjaya meraih gelaran doktor dari London. Saya spesialis saraf dan isteri saya spesialis jantung. Setelah memperoleh gelaran doktor spesialis, kami menandatangani kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai doktor ahli sekaligus direktor rumah sakitnya dan isteri saya sebagai wakilnya. Kami juga mengajar di Universiti. Kami pun dikurniai seorang puteri yang cantik dan cerdas. Saya namakan dia dengan nama isteri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan-kebajikan.

Lima tahun setelah itu kami kembali ke Cairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana seorang raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari sembilan tahun hidup menderita, melarat dan sengsara. Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami pada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertambahlah rasa cinta kami. Ini cerita nyata yang ingin saya sampaikan sebagai nasihat hidup.

Jika hadirin sekalian ingin tahu isteri solehah yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru muda yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat samping kiri artis berjilbab Huda Sulthan, dialah isteri saya tercinta yang mengajrkan bahawa penderitaan boleh mengekalkan cinta, dialah Prof. Shiddiqa binti Abdul Aziz!”

Tepuk tangan bergemuruh mengiri gegak kamera video menyuting sosok perempuan separuh baya yang nampak anggun dengan jilbab biru tuanya. Perempuan itu sedang mengusap cucuran airmatanya. Kamera itu juga merakam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai dan segenap hadirin yang menghayati cerita itu dengan saksama.



oleh: Habiburrahman El Shirazy

KELUARGA SAKINAH: CINTA NO, KASIH SAYANG YES !!!

Saya dan anda masih tetap menghargai perasaan-perasaan cinta, sekalipun cinta itu hampir menjadi berhala di abad modern ini. Para pemuda pemuja cinta mempersembahkan darah, dan orang-tua pemuja cinta mengorbankan kehormatan mereka. Lalu lakukanlah di hadapannya nyanyian-nyanyian yang diperdengarkan suara seruling gendang, lalu menarilah di hadapan para penari. Bahkan, demi berhala cinta itu, orang membangun gedung-gedung bioskop dan studio televisi, serta kabaret-kabaret di jalan-jalan protokol siang dan malam, untuk memuja cinta dan mengangkatnya ke atas singgasana, agar menjadi sembahan dan tujuan nomor wahid. Juga agar menjadi cita-cita dan idaman hidup yang paling luhur, seakan tanpa semua itu, hidup rasanya tak berarti.

Kita semua adalah para penjahat atau korban cinta. Tidak ada lagi di kalangan kita orang yang tidak pernah terluka atau terkena panah cinta, atau membalasnya dengan cinta, meski kita menyadari betapa pentingnya soal cinta ini, sehingga cinta menjadi topik utama yang mutlak dibicarakan orang di saat sekarang. Namun, izinkanlah saya meninjau kembali barang sebentar, serta berusaha memahami daerah pengembaraan ini. Kita semua tersesat, orang tua, kaum muda sampai anak-anak kecil.

Pertama-tama kepada diri saya sendiri, baru kemudian saya bertanya kepada Anda, “Tahukah Anda semua ini, kenapa cinta itu senantiasa berkaitan dengan sakit hati, dan kenapa senantiasa berakhir dengan cucuran air mata dan keputus-asaan?”.

Biarlah pertanyaan ini saya jawab: Sesungguhnya cinta dan keinginan itu merupakan dua hal yang bersahabat kental. Anda tidak mungkin mencintai seorang wanita tanpa menginginkannya. Oleh karena itu, angin cinta yang lembut dan membuai akan senantiasa bercampur dengan darah dan daging, menusuk dalam naluri manusia, lalu berubah menjadi angin kencang dan badai yang menyeret wanita ke dalam dekapan seorang laki-laki. Daging dan tulangnya leleh dalam tungku nafsu dan syahwat membara. Kelezatan sementara yang terus menyala, hampir tidak mau padam. Sedang nafsu syahwat itu sendiri tabiatnya adalah keras, agresif, ingin memiliki dan menguasai seorang wanita yang berjalan berdampingan dan bergandeng tangan dengan laki-laki. Terdorong oleh syahwatoya itu, ia berada di bawah kekuasaan laki-laki itu, lalu ia berubah menjadi sesuatu yang leleh dan lebur dalam dekapannya.

Benarkah bila saya benarkan bahwa cinta itu memuat kekasaran tersembunyi dan permusuhan yang tidak terang-terangan. Yah, itu benar. Cinta itu dapat tercelup dalam syahwat, maka mau tidak mau cinta itu berwarna syahwat karena tabiat manusia itu sendiri.

Sebaliknya, wanita yang merasa bahwa jiwa telah dikuasai oleh seorang laki-laki, maka dia pun berusaha untuk merebut dan menguasai jiwa laki-laki tersebut. Di situlah terjadinya permusuhan tersembunyi secara timbal balik, sekalipun dalam bentuk cinta.

Sebagai contoh, satu-satunya wanita yang kisah cintanya disebutkan dalam al-Qur’an adalah istri al-Aziz yang mabuk kepayang kepada pemuda pujaannya, Yusuf. Apakah yang diperbuat isteri al-Aziz itu ketika Yusuf yang jujur tak mau meladeni rayuannya. Apa pula yang dia lakukan ketika suaminya memergoki kedua insan itu? Ternyata perempuan itu menuntut agar Yusuf dipenjarakan atau disiksa.

قالت ماجزاء من أرادبأهلك سوء الا أن يسجن أوعذاب اليم

Wanita itu berkata: Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud serong terhadap isterimu selain dipenjarakan atau dihukum dengan adzab yang pedih. (Yusuf: 25).

Apa pula kata perempuan itu kepada rekan-rekan wanitanya, ketika dia menceritakan kisah cintanya:

ولقد راودته عن نفسه فاستعصم ولئن لم يفعل ماامره ليسجنن وليكونامن الصاغرين

Dan sesungguhnya, aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya kepadaku. Akan tetapi dia menolak, dan sesungguhnya jika dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan padanya, niscaya dia akan dipenjara dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina. (Yusuf: 35).

Perhatikan, ternyata kekerasan cinta ada pada dirinya, dibarengi dengan kekasaran dan keinginan untuk memenjarakan dan menyiksa. Sesudah itu, perhatikan kata Yusuf as:

قال رب السجن احب الى ممايد عوننى اليه

Yusuf berkata: Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku. (Yusuf: 33).

Sikap Yusuf as seperti itu adalah karena dia tahu dengan mata hatinya, bahkan cinta itu pun sebenarnya penjara, bahwa syahwat itu adalah tali, bila laki-laki menyerah padanya, maka lehernya akan dijeratnya sampai mati, dan Yusuf as berkata, bahwa dia memilih tinggal dalam penjara beberapa tahun. Maka, hal itu akan lebih sejuk dia rasakan daripada tunduk kepada syahwat yang merupakan penjara abadi sampai akhir hayat manusia.

Sesungguhnya cinta itu selama-lamanya takkan menjadi cinta murni, bersih dan jernih. Akan tetapi -dikarenakan tabiat manusia itu sendiri- cinta senantiasa akan merupakan bagian dari tiga hal. Yaitu, cinta, kelamin dan kekasaran. Tiga hal itu bersenyawa satu sama lainnya, tak bisa dipisahkan.

Dan oleh karena kisah cinta yang bercampur dengan syahwat itu senantiasa berakhir dengan pemuasan dalam beberapa detik, kemudian disusul dengan keletihan dan kebosanan pada kedua belah pihak. Juga keinginan masing-masing kepada perubahan suasana dan cara baru, untuk membangkitkan kembali syahwat dan sisa-sisa birahinya. Maka, cinta akan senantiasa menyeret kepada keraguan masing-masing pihak, jangan-jangan pihak lawan itu berkhianat. Dan pada gilirannya, hal ini akan menyebabkan semakin bimbang dan saling curiga, tegang dan cemburu. Demikianlah cinta akhirnya berubah menjadi kepedihan dan kesengsaraan, hujan air mata dan luka di hati.

Cinta hampir tak dapat dipisahkan selamanya dari ketiga unsur tersebut. Cinta, kelamin dan kekasaran. Oleh karena itu, ia mendapat keputusan bubar dan hilang harapan, atau mendapat keputusan berubah seratus delapan puluh derajat. Sehingga yang asalnya cinta menjadi musuh, dan berbalik menjadi benci, lalu mengadakan pembunuhan terhadap perasaan-perasaan cinta itu, seratus kali setiap hari, dan itulah sebenarnya yang namanya penderitaan
(patah hati -admin).

Oleh karena itu, tiga unsur ini tidak tepat dijadikan landasan perkawinan. Tidak tepat untuk membangun rumah-tangga, dan tidak patut untuk membangun hubungan-hubungan yang mantap antara dua insan yang berlainan jenis.

Dan adalah termasuk bukti-bukti keagungan al-Qur’an dan kemukjizatannya, bahwa ketika ia menyebut soal perkawinan, maka tidak menyebut-nyebut cinta (mahabbah -admin), tapi yang disebut adalah Mawaddah wa rahmah (belas kasih dan sayang) dan Sakinah (ketenteraman). Yaitu, ketenteraman jiwa yang satu terhadap lainnya, dan kebetahan hati yang satu terhadap yang lain, serta terwujudnya belas, bukan cinta; kasih, bukan birahi:

ومن اياته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوااليها وجعل بينكم مودةورحمة

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu belas kasih dan sayang. (ar-Rum: 21).

Jadi, kasih dan sayang itulah kunci rumah-tangga, karena dengan adanya rasa sayang itu, otomatis cinta sudah tercakup. Sedang cinta tidak mencakup kasih sayang. Bahkan syahwat itu hampir senantiasa berbalik menjadi permusuhan. Rasa sayang itu lebih dalam, lebih murni dan lebih suci dibanding cinta. Sayang adalah perasaan manusia yang luhur dan tersusun dari berbagai unsur. Ia membuat cinta, persaudaraan, persahabatan, kelembutan, pengorbanan, tidak memikirkan diri sendiri, toleransi, ketelatenan, kemaafan dan kedermawanan.

Atas dasar tabiat manusia, kita semua mampu untuk bercinta, tetapi sedikit saja di antara kita yang mampu untuk menyayangi..

Dan di antara seribu kekasih, disana hanya ada seorang yang mungkin anda sayangi. Sedang selebihnya, adalah para pengumbar nafsu, pencari kelezatan dan keenakan.

Oleh sebab itulah, al-Qur’an, Kitab yang penuh hikmah itu turun kepada kita dari Tuhan Yang Maha Besar, memperingatkan kepada kita ketika kawin, tentang kasih, tentang sayang dan ketenteraman. Satu kata pun tidak menyebut-nyebut soal cinta. Dengan demikian, berarti ia menghancurkan berhala abad modern dan sesembahan utama manusia dewasa ini, sebagaimana ia pernah menghancurkan berhala-berhala yang ada di sekeliling Ka’bah zaman dulu.

Bagi orang yang berpengalaman dan telah merasakan manis pahitnya kehidupan, disamping telah bergaul dengan wanita, maka ia akan tahu betapa dalam, mendasar dan benar ayat yang telah diturunkan Allah tersebut.

Dengan adanya ayat tersebut, bukan berarti mengecilkan peran cinta, atau syahwat itu tidak penting, bukan. Melainkan semua itu merupakan ketegasan dan keterangan bahwa penyaluran rasa cinta dan syahwat tanpa dilingkari dengan kasih dan sayang dan aturan-aturan syariat adalah sia-sia dan pasti berakhir dengan kebinasaan.

Hanya hewan sajalah sebenarnya yang semata-mata melampiaskan cinta, syahwat dan saling bermesraan. Adapun manusia, adalah satu-satunya makhluk istimewa yang memiliki rasa belas kasih dan sayang, karena manusialah satu-satunya yang diberi kemampuan untuk mengendalikan syahwatnya. Umpamanya, dia berpuasa, padahal dia lapar; dia sanggup menahan diri, betapapun rindunya.

Rasa sayang itu bukanlah kelemahan, bahkan merupakan puncak dari kekuatan manusia. Karena dengan itulah manusia mengatasi kebinatanganya, kebuasan dan kegelapan syahwatnya. Sayang itu cahaya, sedangkan syahwat itu api. Orang yang memiliki rasa sayang akan nampak bercahaya, jernih dan cemerlang hatinya. Dialah orang yang benar-benar terkemuka.

Kasar itu pengecut; sedang sayang itu berani. Rasa sayang itu tak kan dimiliki selain oleh seorang pemberani, terhormat dan mulia. Sedang, yang sibuk membalas dendam dan menyiksa hanyalah orang yang rendah diri, hina dan berhati semut.

Sayang adalah cap syurga yang terdapat pada kening orang yang beruntung dan mendapati janji Tuhan di antara sekalian penghuni bumi ini. Mereka dapat Anda kenali dari tanda-tanda, sifat-sifat dan kecerahan mereka.

Tanda dari orang yang belas kasih adalah ketenangan, ketenteraman dan kemurahannya. Begitu pula, ia pun mempunyai sifat lapang dada, penyantun, lembut, sabar, hati-hati, introspeksi sebelum terlanjur melakukan perbuatan yang meragukan, mencemaskan diri dalam memperebutkan hal-hal yang tidak abadi dan keuntungan-keuntungan pribadi, menjauhi dendam, mengendalikan syahwat, banyak berpikir, menyukai diam, betah menyendiri dan tidak gusar ketika tinggal seorang diri (karena orang yang rahim seperti itu mempunyai cahaya yang menghiburnya dari dalam dirinya sendiri, juga karena dia selalu berdialog dengan Tuhan Yang Maha Haq), dan senantiasa berseri-seri kala bergaul dengan segala makhluk Allah.

Orang-orang yang rahim seperti itu tidak banyak. Namun, mereka adalah tiang dan tonggak dunia, yang dengan itu Allah memelihara bumi dan semua penghuninya.

Dalam pada itu, kiamat pun tak kan datang kecuali bila tak ada lagi rasa sayang dalam hati manusia, sementara dendam tersebar dimana-mana. Materialisme yang kasar merajalela, sedang kehidupan manusia semata-mata dikuasai oleh syahwat-syahwatnya. Disanalah bangunan-bangunan di muka bumi ini bakal roboh, dan hancurlah kerangka-kerangkanya, terpelanting dari pondasinya masing-masing.

Aspirasi

Dua anak kura-kura saling bertatapan ketika orang yang memeliharanya menempatkan mereka di akuarium kering. Padahal, dua kura-kura kecil itu tergolong kura-kura air. Kontan saja, mereka blingsatan.

“Dasar, manusia kurang pengetahuan!” suara kura-kura yang agak lebih besar. “Iya, kenapa manusia ini tidak belajar dulu tentang kita?” sahut yang kecil menimpali.

Tak lama, keduanya pun merasakan siraman air. Byurr! Dua anak kura-kura menyambut gembira. Tapi, kegembiraan itu tak lama. Karena air yang tersiram begitu banyak,melebihi batas jangkauan leher kura-kura yang butuh nafas di udara bebas.

Lagi-lagi, dua anak kura-kura itu blingsatan. Keduanya tampak mulai pucat karena tak mampu menjangkau permukaan air untuk mengambil nafas. Kalau saja bisa terdengar, mungkin si pemelihara kura-kura akan kaget dengan omelan dua kura-kura kecil itu: “Hei, belajar dulu, dong! Baru ngurusin kita!”

Melihat keanehan itu, si pemelihara kura-kura mulai sadar. Air pun ia kurangi. Dan, wajah puas pun terlihat ketika si pemelihara kura-kura mendapati hewan-hewannya sudah bertingkah normal.

Sesaat kemudian, si pemelihara kura-kura menyeburkan beberapa sobekan roti kedalam akuarium. Ia berharap, kalau peliharaannya akan berebut melahap roti. Tapi, kedua anak kura-kura itu tak peduli.

Kalau saja si manusia pemelihara kura-kura itu mendengar ucapan hewan peliharaannya, ia akan mendengar ucapan ini. “Aduh, gimana sih. Orang butuh cacing air dikasih roti!”
**

Kehidupan mendudukkan manusia pada posisi yang unik. Manusia berkesempatan dan berkemampuan menjadi pemimpin. Manusia punya kemampuan memimpin hewan, tumbuhan, bahkan sesama manusia lain. Saat itulah, manusia bisa menjadi pengendali.

Masalah akan timbul ketika sang pemimpin punya ego yang ingin dipaksakan. Atau, ia memang tidak paham dengan makhluk-makhluk yang ia pimpin: kapasitas, selera, kecenderungan, budaya, dan berbagai hal lain.

Jangan sampai ia seperti pemelihara kura-kura yang buta dengan semua aspirasi hidup yang ia pimpin. Karena didengar atau tidak, mereka yang dipimpin akan mengatakan, “Gimana sih. Orang butuh ini dikasih itu!”

Pemimpin dengan Kejujuran Cinta

Malam semakin pekat. Kota Madinah mulai hening dari hingar-bingar manusia. Sebagaimana biasanya, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu keluar berteman sepi. Bukan untuk mencari pencitraan diri. Bukan untuk mengais-ngais sensasi. Melainkan karena tanggung jawab dalam mengemban amanah ummat. Ia harus keluar untuk melihat kondisi rakyatnya. Mungkin saja, ada inspirasi yang bisa ia jadikan bahan untuk mengevaluasi kebijakan dan kepemimpinannya.

Saat melewati sebuah kemah, terdengar suara rintihan wanita. Umar radhiyallahu ‘anhu berjalan mendekat. Seorang lelaki sedang duduk di samping tenda. Setelah ditanya, lelaki itu mengaku berasal dari kampung, sedang istrinya di dalam tenda sedang berjuang menahan sakit, karena hendak melahirkan. Di situ, tidak ada manusia lain kecuali lelaki badui, istrinya dan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu.

Tanpa berpanjang kalam, Umar radhiyallahu ‘anhu segera beranjak pergi, pulang menemui istrinya. “Maukah kamu pahala besar yang sudah Allah giring kepadamu?” kata Umarradiallahu ‘anhu kepada istrinya Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha.

“Apa itu?” tanya istrinya.

“Ada seorang wanita asing hendak melahirkan. Dan di sana tidak ada seorangpun yang membantu.” jelas lelaki yang pertama kali digelari Amirul Mukminin itu.

“Ya, aku mau,” jawab Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anhamantap. Mereka berdua pun beranjak pergi, menuju sebuah perkemahan badui, sambil membawa makanan.

Sampai di tempat, Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha segera masuk tenda, menemui wanita badui yang hendak melahirkan. Sedang Umar radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan kayu bakar dan memasak makanan. Tak ia pedulikan asap-asap yang menyelinap di sela-sela jenggotnya.

Lelaki badui itu hanya diam menatap Umar radhiyallahu ‘anhu dengan sorotan mata penuh heran. Seolah-olah Allah telah mengirimkan kepadanya seorang penolong malam itu. Dan ketika istrinya telah melahirkan, Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha berteriak memanggil Umar radhiyallahu ‘anhu, “Wahai Amirul Mukminin, kabarkanlah kepada temanmu itu bahwa anaknya laki-laki.”

Lelaki itu tersentak kaget. Ternyata orang yang ada di depannya adalah Amirul Mukminin, seorang lelaki alumni “Madrasah Nabawiyah” yang namanya menggemparkan dunia. Umar segera menenangkan lelaki badui. Lalu memberikan makanan kepada Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anha agar menyuapi wanita badui tersebut.

Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu mengambil makanan lagi dan diberikan kepada lelaki badui. “Makanlah, karena kamu sudah menahan kantuk semalaman.”

Begitulah Umar radhiyallahu ‘anhu melewati malam-malamnya. Mata selalu terjaga, demi kemakmuran rakyatnya. Sehingga banyak sekali kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang kemudian diubah, setelah mendapat inspirasi dari perjalanan malamnya. Mulai dari perubahan masa pengiriman pasukan perang, yang awalnya tanpa ada batas waktu dan berubah menjadi empat bulan. Kemudian pemberian santunan negara, yang awalnya hanya untuk bayi yang telah selesai masa penyusuan, lalu diganti menjadi diberikan kepada setiap bayi yang lahir. Dan masih banyak lagi.

Hal semisal itu hanya akan dilakukan oleh seorang pemimpin yang memahami makna dan hakekat kepemimpinan yang sesungguhnya. Bahwa memimpin itu adalah melayani. Memimpin itu adalah memberi. Memimpin itu adalah mencintai. Memimpin itu adalah berempati. Memimpin itu adalah mengayomi. Memimpin itu adalah melindungi. Memimpin itu adalah menyayangi. Dan memimpin itu adalah memberikan keteladanan yang baik kepada pengikutnya.

Dan selama hal ini tidak dimengerti dengan benar oleh para pemimpin lalu tidak diaplikasikan, maka selamanya kepemimpinan itu tidak jauh beda dengan perbudakan. Yang terjadi adalah eksploitasi-eksploitasi di atas pilar kedzaliman. Seperti tuan dan pesuruh. Seperti majikan dan pembantu. Karena tidak ada jembatan cinta yang menyatukan mereka.

Hari ini, banyak orang mengidentifikasi kepemimpinan dengan kekuasaan. Sehingga yang mereka lakukan adalah berlomba-lomba untuk mencapai puncak kepemimpinan, agar bisa mendapatkan kekuasaan. Lalu kekuasaan itu dijadikan sebagai alat untuk memimpin, demi mencapai tujuan dan ambisinya.

Kepemimpinan hanya diartikan dari satu sisi saja, MENGUASAI. Dengan menafikan sisi cinta, kasih sayang, perlindungan, pelayanan, pemberian, pengayoman serta empati kepada rakyat. Padahal pemimpin yang sesungguhnya justru bekerja dengan melayani. Itulah sejatinya yang harus dilakukan seorang pemimpin.

Pemimpin adalah pelayan. Sebagaimana layaknya pelayan, maka ia akan menikmati apapun setelah yang dilayani menikmatinya. Ia akan menyantap hidangan setelah rakyat menyantapnya. Karena ia harus “meladeni” rakyat dengan segala kebutuhannya.
Hakikat kepemimpinan itulah yang sangat dipahami oleh Umar radiallahu ‘anhu. Sehingga dia bersumpah, “Aku tidak akan makan daging sampai orang-orang faqir kenyang.”

Suatu ketika, seorang laki-laki datang menemui Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhudan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, seorang pemimpin sepertimu terlihat sangat lesu dan pucat karena hanya makan roti kering. Kamu terlalu menyiksa diri. Padahal, dengan kekuasaan, kamu bisa meminta uang kepada kas negara (baitul mal).”

Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Bagaimana mungkin aku bisa menjadi pemimpin rakyat yang baik, bila aku tidak pernah merasakan derita yang mereka rasakan?”

Inilah bentuk cinta yang tulus seorang pemimpin kepada rakyatnya. Cinta sejati yang jauh dari kemunafikan. Cinta murni yang jauh dari kepentingan pribadi, keluarga, kelompok maupun golongan. Bersih dari polusi politisasi. Yang ada adalah kejujuran pengabdian kepada rakyat. Yang ada adalah ketulusan pelayanan kepada rakyat.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Seandainya ada domba yang mati di tepi sungai Eufrat, maka aku mengira bahwa Allah akan menanyakannya kepadaku pada hari kiamat, mengapa aku tidak memperbaiki jalannya.”

Rakyat ini sudah merindukan pemimpin yang bisa memesrai mereka di setiap saat. Rakyat butuh pemimpin yang bisa membimbing dan “me-ngemong” mereka. Rakyat mendambakan pemimpin yang jujur dan tulus dalam mencintai mereka.

oleh:Fauzan Imtihan